Oleh
: Djawahir Muhammad (Budayawan)
Bag : 2 (tamat)
Semarang , RM, _
Kurangnya
budi pekerti yang baik bukan hanya berawal dari kemiskinan budaya, dangkalnya pemahaman
keagamaan, turunya kwalitas pendidikan ataudampak teknologi dan globalisasi
informasi, tetapi lebih disebabkan tiadanya contoh perilaku budaya dari
generasi ke generasi. Minimnya keteladanan perilaku berlangsung di semua level
kehidupan : ayah ibu yang cekcok sepanjang hari, komandan atau pimpinan yang
tajam dan tumpul ke bawah sehingga tidak lagi berwibawa, sampai anggota
parlemen yang terlibat dalam korupsi uang rakyat dsb.
Intinya,
kondisi Bhineka Tunggal Ika yang menyatukan spirit kesamaan dalam perbedaan
bangsa sedang terancam oleh perilaku a sosial dan individual yang dipicu
semangat kecintaan pada kenikmatan duniawi, meskipun harus dilakukan dengan
menerabas undang undang, menerabas moralitas, Nilai nilai Agama, Filsafat,
Moral, Budaya dan kearifan lokal tidak lagi menjadi panutan bagi sebagian
bangsa ini. Sebaliknya uang, ideol ogy dan kekuasaan lebih berfungsi sebagai
pintu mencari selamat, menemukan kebahagiaan. Benarkah demikian ?
Budaya
sebagai benteng moralitas bangsa
Dalam hiruk pikuk
dunia yang melanda dunia ini rupanya tidak lagi ditemukan tafsir tunggal
terhadap kebenaran yang disetujui oleh semua orang. Para penganut agama menjadi
fanatik terhadap kebenaran ajaran agamnya masing masing. Sebaliknya, para
pendukung idiologi tertentu tidak lagi menjadi idiolog yang fanatik hanya
dengan iming iming sejumlah uaang. Kebenaran dapat dibeli dengan segepok uang. Etnisitas
bukan diukur dari warna kulit , melainkan dari isi sebuah tas !
Dalam
kegamangan nilai nilai normative itu rupanya masih ada yang layak menjadi
ukuuran tentang baik buruk budi pekerti seseorang, yaitu orng yang berguna bagi
orang lain, orang yang dapat menjadi panutan orang lain. Apakahn orang itu
beragama a, berpartai b, berkulit c, dsb. Orng demikian layak disebut sebagai
orang yang berbudaya.
Kebenaran
tidak lagi tanpa panduan, tapi nilai nilai budaya yang bersifat universal layak
menjadi panduan baik buruk perilaku manusia, perilaku sebagai bangsa .!
Intinya
adalah, pertama; spirit pluralisme, multikulturalisme, dan keragaman budaya
berbagai etnis di Semarang telah bersemi sejak kota ini menjadi sebuah hunian
masyarakat, mulai zaman para ajar dipulau Tirang, para Ulama pendiri kota ini,
para bupati di Kanjengan, hingga jaman VOC atau jaman Jepang, hingga jaman
kemerdekaan sekarang. Spirit kebersamaan ini tumbuh, berkembang dan bekerjasama
menciptakan suatu system / ketertiban sosial, sehingga tercapai suatu harmony
kehidupan.
Kedua,
perbedaan etnis, keragaman budaya dan perbedaan agama disadari adalah rahmat,
bukan laknat tuhan yang membuat warga bebas melakukan tawuran, persaingan dsb. Sebaliknya,
elemen elemen kearifan lokal itu justru merupakan kekayaan tradisi yang layak dikembangkan melalui bermacam bentuk dan media
kebudayaan, melalui kesenian, event wisata, kuliner dsb.
Jadi,
apabila kearifan lokal dapat dibudayakan dan dikembangkan melalui proses
enkulturasi (pewarisan nilai) yang benar, niscaya akan tercapai suatu harmoni
kehidupan berbangsa yang baik. Sebaliknya apabila terjadi proses enkulturasi
yang salah, masyarakat kita akan makin lama makin kehilangan budaya, integritas
dan identitasnya . gik