Dusun Sambo di Magelang
Magelang, RM _
Setelah terjadinya
peristiwa Polisi Tembak Polisi yang melibatkan juga sejumlah Jendral di
Kepolisian, terdapat sebuah dusun di Kecamatan Podosoko Kabupaten Magelang Jawa
Tengah ikut terkenal dan membuat penasaran banyak orang. Dusun Sambo yang dihuni
sekitar 100 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 289 jiwa ini terletak
di Desa Podosoko Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang ini Karena memiliki nama
dusun yang sama dengan mantan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo,
tersangka kasus dugaan pembunuhan terhadap ajudanya.
Untuk menuju dusun
tersebut, Dari pusat Kota Magelang dalam perjalanan menggunakan sepeda motor
memerlukan waktu sekitar 30 menit dengan jarak yang harus ditempuh 20km. Dan untuk
mencapai dusun tini kondisi jalan berliku liku dan kondisi jalannya masih
bebatuan. Dalam perjalanan tersebut juga penuh dihiasi pemandangan yang indah
karena kanan kiri jalan penuh dengan perkebunan. Meski demikian, dusun Sambo
ini dalam kampungnya nampak indah dan tertata rapi. Tak heran juga jika Dusun
Sambo yang berada di Magelang ini juga dicanangkan sebagai Kampung Pancasila
oleh Pemerintah Kabupaten Magelang. Masyarakatnya juga penuh dengan kearifan. Rupanya,
Dusun Sambo ini memiliki sejarah tersendiri seemenjak masa jaman penjajahan
Belanda.
Baca juga :
. Mayat Terbakar, diduga Pegawai Bapenda Semarang yang Hilang usai mendapat panggilan Polisi
Menurut Sekretaris Desa
(Sekdes) Podosoko, Kuwato (56) bahwa, dulu nama Sambo merupakan nama leluhur
masyarakat setempat. Ketika masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1700-an, ada
seorang musafir bernama Wira Sambo. Dan musafir itu merupakan orang yang
pertama kali menemukan tempat di kaki Gunung Merbabu.
Wira Sambo merupakan
seorang penyebar agama Islam yang kemudian dipanggil dengan nama Kyai Wikono.
Menurut cerita para sesepuh kampung, Wira Sambo berasal dari Kasunanan Keraton
Solo. Pada masanya terjadi peperangan sehingga membuat para punggawa dan prajurit
lari dari peperangan itu. Dan nama Wira Sambo itu sampai sekarang dibuat cikal
bakal (kelahiran Dusun Sambo). Wira Sambo merupakan musafir penyebar agama
Islam di tempat itu dan menjadi orang yang pertama kali masuk di wilayah dusun
ini.
Wira Sambo tiba dan
tinggal bersama istrinya bernama Dewi Sekar Kenanga. Nama sang Istri Wira Sambo
juga diabadikan menjadi nama Dusun Kenanga yang terletak tidak jauh dari Dusun
Sambo. Wira Sambo/Kiai Wikono dan istrinya kemudian melahirkan
keturunan-keturunan yang sekarang masih banyak yang tinggal di Dusun Sambo dan
sekitarnya.
Untuk mengormati para
leluhur termasuk Kiai Wikono/Wiro Sambo Masyarakat
setempat sampai sekarang masih menganut ajaran yang ditinggalkan Wiro Sambo
yaitu menggelar tradisi Nyadran setiap tanggal 10 bulan Ruwah dalam kalender
Islam. Saat Nyadran berlangsung, seluruh masyarakat berkumpul dan melakukan doa
bersama untuk para leluhur. Selain itu warga juga melakukan ziarah ke makam
Kiai Wikono yang ada di pemakaman dusun.
"Sebagian besar warga di sini adalah keturuan Kiai
Wikono, ada juga yang tinggal di luar dusun, tapi kalau Nyadran kami semua
berkumpul, berdoa bersama dan menggelar tradisi-tradisi. Warga yang ikut
Nyadran bisa sampai 600-700-an orang," jelas Sekdes.
Sekdes Kuwato yang
masih keturuan ke-8 dari Kiai Wikono menyampaikan bahwa, Sebagian besar
masyarakat berprofesi sebagai petani dan pedagang, Tingkat pendidikannya juga
beragam dari SD hingga perguruan tinggi. Warga Dusun Sambo juga hampir tidak
ada warga yang berprofesi sebagai pegawai maupun Aparat Sipil Negara
(ASN). Meski demikian, masyarakat sangat menjunjung nilai toleransi dan
menyukai bergotong-royong dengan sesam warga. Tim rm